Penanganan lahar dingin di alur sungai di wilayah Kabupaten Magelang nampaknya kurang berjalan dengan mulus sesuai peraturan yang berlaku. Material galian C yang menumpuk di sepanjang alur sungai yang berhulu di Gunung Merapi memang bisa mendatangkan ratusan juta rupiah dalam waktu yang tidak lama, dan hal itu membuat para pengusaha tambang nekat melakukan penambangan ilegal dengan menggunakan alat berat (excavator), padahal yang diizinkan melakukan penambangan di alur sungai tersebut hanya untuk pertambangan rakyat (IPR) dan hanya menggunakan peralatan manual bukan alat berat.
lokasi: sungai putih di dusun nabin desa gulon kab. magelang
lokasi: dusun Pendem desa Jumoyo kab. Magelang
lokasi: sungai putih, BongCino dusun Prebutan Gulon Salam Magelang
Hal itu mengingat penggunaan alat berat (backhoe) di sungai untuk kegiatan penambangan dapat merusak alur sungai dan membahayakan pemukiman di sekitar sungai apabila musim penghujan datang.
Dengan alasan normalisasi para pemilik alat berat nekat melakukan penambangan ilegal, malah sekarang tanggul yang dibuat oleh BNPB mulai di keruk dengan alasan tanggul berada di atas lahan pertanian penduduk, karena terdesak kebutuhan tanggul yang merupakan pasir tersebut dijual oleh pemilik lahan bekerjasama dengan pemilik alat berat, padahal tanggul tersebut merupakan pengaman bagi aliran banjir. Dan jika di keruk tentunya aliran banjir lahar dingin bisa meluber dan menerjang pemukiman di sekitarnya.
Disinyalir keberadaan alat berat yang tanpa rasa takut dan bersalah tetap melakukan penambangan karena ada keterlibatan pejabat Magelang, karena setiap kali warga melapor tentang beroperasinya alat berat untuk penambangan tidak pernah ada tindak lanjut dari Pemkab. Magelang, sehingga alat berat makin bebas melakukan penambangan ilegal dan Pemkab. Magelang seolah mengesampingkan program yang pernah di gembar-gemborkan, bahwa tidak boleh ada alat berat melakukan penambangan di alur sungai dan hanya Ijin Pertambangan Rakyat yang di keluarkan dengan peralatan manual.
Tapi seperti itulah kenyataannya, sebagai rakyat kecil hanya bisa menyaksikan dan meratapi nasib di masa paceklik, sambil menunggu kebun-kebun salak berbuah satu atau dua tahun mendatang.
No comments:
Post a Comment